Salah satu tujuan dari pengukuhan kawasan
konservasi adalah untuk mencegah deforestasi, tapi sayangnya, banyak kawasan
konservasi di dunia yang telah kehilangan sebagian atau seluruh habitat
alaminya akibat konversi menjadi lahan pertanian. Oleh karena itu, penting
untuk mengetahui seberapa efektif sebenarnya penetapan kawasan konservasi dalam
mengurangi laju deforestasi. Salah satu komponen yang diduga berhubungan dengan
laju deforestasi adalah tingkat kemiskinan masyarakat di sekitar kawasan
konservasi. Namun, hal ini belum diketahui secara pasti karena kompleksnya
proses yang terlibat dalam deforestasi.
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
(TNBBS) merupakan satu dari tiga taman nasional yang ditetapkan sebagai Tropical
Rainforest Heritage of Sumatra UNESCO. Pada tahun 1977, harga kopi robusta
internasional yang tinggi memicu migrasi massal ke daerah pegunungan di barat
daya Sumatera dan menyebabkan deforestasi besar di bagian timur TNBBS yang
melibatkan sekitar 100.000 imigran dari Pulau Jawa. Selama 34 tahun terakhir
(sejak artikel penelitian ditulis), ekspansi perkebunan kopi oleh petani kecil
merupakan faktor utama deforestasi di dalam dan sekitar TNBBS. Penelitian
terdahulu menyatakan bahwa peningkatan harga kopi internasional berhubungan
dengan peningkatan laju deforestasi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
(TNBBS), dan sebaliknya. Untuk menguji hal tersebut, Gaveau dkk. (2009)
melakukan sebuah penelitian untuk mengetahui: 1) apakah penegakan hukum
berhasil dalam menjaga hutan tropis alami di TNBBS dan 2) apakah terdapat
interaksi pengaruh penegakan hukum dan harga kopi terhadap laju deforestasi di
TNBBS?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut,
Gaveau dkk. (2009) menggunakan 21 citra satelit LANDSAT untuk mengestimasi
hilangnya tutupan hutan di area studi dari tahun 1972 hingga 2006. “Hutan”
didefinisikan sebagai area hutan usia tua dengan tutupan tajuk >50%. Harga
kopi internasional didapatkan dari International Coffee Organization (ICO) dan
harga kopi lokal diperoleh dari Badan Pusat Statistik. Untuk menentukan tingkat
penegakan hukum, Gaveaeu dkk. menggunakan data ekologi (perambahan aktif/tidak
aktif), wawancara dengan petani dan staf TNBBS (upaya penegakan hukum oleh
polisi hutan terhadap perambah), dan pemodelan GIS (geographic information system) (aksesibilitas ke dalam kawasan
konservasi). Area studi dibagi menjadi dua zona: Zona I - penegakan hukum
rendah dan Zona II - penegakan hukum tinggi. Analisis dilakukan dengan metode regresi
linear dengan laju deforestasi sebagai variabel respon dan tingkat penegakan
hukum serta harga kopi lokal dan internasional sebagai prediktor.
Hasil analisis Gaveau dkk. menunjukkan
bahwa dari 1972 hingga 2006, seluruh area studi (TNBBS dan sekitarnya)
kehilangan hutan sebanyak 52%, tapi tutupan hutan di dalam TNBBS saja “hanya”
hilang sebanyak 21%. Mereka berkesimpulan bahwa penegakan hukum berhasil
mengurangi laju deforestasi di TNBBS. Harga kopi lokal, bukan harga kopi
internasional, merupakan faktor yang mendorong terjadinya deforestasi, tetapi
deforestasi yang diakibatkan oleh ekspansi perkebunan kopi dapat dicegah oleh
penegakan hukum yang aktif.
(Sumber:
Gaveau dkk. 2009)
|
Pada awal 1980-an, penegakan hukum
di TNBBS cukup kuat karena baru saja ditetapkan sebagai taman nasional pada
tahun 1982. Laju deforestasi berkurang pesat di bagian selatan TNBBS dan juga
terdapat bukaan lahan yang ditumbuhi pohon kembali. Namun, dampak positif
pengukuhan kawasan berkurang sejak turunnya Presiden Suharto tahun 1998 dan
implementasi otonomi daerah pada tahun 2000. Pemerintah lokal tidak menunjukkan
minat pada konservasi keanekaragaman hayati karena taman nasional berada di
bawah pemerintah pusat dan hanya memberikan sedikit keuntungan ekonomi secara lokal.
Hal tersebut juga mengakibatkan rendahnya kerja sama antara pengelola TNBBS dan
pemerintah lokal.
Di Sumatera bagian selatan, petani
lebih memilih menanam kopi daripada bekerja di tempat lain karena upah buruh
sangat rendah (sekitar Rp20.000 per hari di tahun 2006). Oleh karena itu, harga
kopi lokal yang tinggi, dikombinasikan dengan upah buruh yang rendah, lebih
memengaruhi laju ekspansi kebun kopi dan akibatnya, laju deforestasi hutan.
Namun, hal ini perlu pengujian lebih lanjut karena saat penelitian dilakukan,
belum tersedia data berkala upah buruh yang reliabel.
Penelitian ini menunjukkan bahwa
penegakan hukum penting dalam mengurangi laju deforestasi, tapi tidak cukup.
Peningkatan harga komoditas dapat menyebabkan dampak buruk bagi hutan tropis
dan keanekaragaman hayati. Intensifikasi perkebunan, sertifikasi kopi,
pekerjaan di luar pertanian, dan tingkat edukasi yang lebih tinggi merupakan
beberapa solusi untuk mengurangi deforestasi, tapi hal ini sulit dicapai karena
melibatkan proses yang kompleks seperti investasi sosial yang tinggi di tingkat
lokal dan nasional oleh pemerintah yang transparan dan berkomitmen. Namun,
solusi tersebut tetap layak diupayakan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
petani sebagai solusi deforestasi. Perhutanan masyarakat di dalam kawasan
konservasi yang dikombinasikan dengan penegakan hukum mungkin merupakan solusi
jangka panjang yang baik untuk mendukung masyarakat lokal dalam perencanaan intensifikasi
perkebunan, program sertifikasi, pekerjaan di luar pertanian, dan pendidikan
yang lebih tinggi.
Ringkasan oleh: Marsya C. Sibarani
Artikel asli:
Gaveau, D. L. A., M. Linkie, Suyadi,
P. Levang, and N. Leader-Williams. 2009. Three decades of deforestation in
southwest Sumatra: Effects of coffee prices, law enforcement and rural poverty.
Biological Conservation 142:597-605.