Menjelang akhir tahun adalah waktu yang tepat untuk refleksi pencapaian kita sekaligus membuat resolusi seputar apa yang akan kita lakukan di tahun berikutnya. Hal ini tentu tidak berbeda dengan upaya konservasi. Mengapa kita konservasi? Apa saja yang sudah kita lakukan? Apakah berhasil? Apa yang perlu kita lakukan selanjutnya?
Tulisan ini sesungguhnya diinspirasi oleh salah seorang anggota Tambora beberapa waktu lalu yang bertanya tentang "kondisi konservasi" saat ini. "Saya takut beda persepsi konservasi, Mbak. Soalnya saya diajarinya konservasi air dan tanah saja sewaktu kuliah."
Aha.
Hingga pertanyaan itu tiba, saya baru menyadari bahwa tidak semua orang, bahkan anggota Tambora sekalipun, memiliki persepsi yang seragam tentang arti kata "konservasi". Apakah yang dimaksud dengan "konservasi"? Apakah menjaga kandungan nutrisi tanah termasuk konservasi? Apakah hemat bensin termasuk konservasi? Apakah bayar kantong plastik sebanyak Rp200,- waktu belanja di minimarket termasuk konservasi? Apakah menjadi vegetarian termasuk konservasi?
Saya akui kata konservasi digunakan banyak disiplin dan tema untuk mengacu ke banyak hal. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ini didefinisikan dengan cukup umum: sebagai nominal (kata benda) yang berarti (1) pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan; pengawetan; pelestarian; dan (2) proses menyaput bagian dalam badan mobil, kapal, dan sebagainya untuk mencegah karat. Menariknya, definisi kata "konservasionis" dalam KBBI sebagai pelaku konservasi tidak mengakomodir penyaputan bagian dalam kendaraan:
Ada kenaikan tren secara perlahan sejak tahun 2010 untuk pencarian kata ini. Saya sempat berpikir bahwa ini terjadi karena sekitar tahun 2008-2013, banyak komitmen dalam isu seputar konservasi, semisal target pengurangan emisi gas rumah kaca pada tahun 2009, pendirian Satuan Tugas REDD+ pada tahun 2010, kesepakatan untuk meratifikasi Protokol Nagoya pada tahun 2010... ada lagi berita menarik lainnya? Uniknya, tren pencarian kata ini cenderung menurun selama lebih dari satu dekade terakhir ketika kita hanya melihat Indonesia sebagai negara asal pencari.
Jika pembaca sekalian ingin mengulik sendiri tren pencarian kata di Google, sila mampir ke tautan ini atau baca lebih banyak tentang cara menggunakan Google Trends.
Jadi, kata 'konservasi' sesungguhnya cukup "dimonopoli" oleh bidang konservasi biologi, atau lebih sering disebut dalam singkatannya, biokonservasi. Dalam keumuman kata ini, tentu saja, ada keragaman wacana tentang bagaimana konservasi dilakukan, bahkan dalam isu yang paling dasar: mengapa kita konservasi? Bagaimana dunia memandang konservasi? Bagaimana Indonesia memandang konservasi?
Dalam sebuah artikel di Science, "Whose Conservation?" (Konservasi Milik Siapa?) menjelaskan empat fase perubahan pola pikir manusia tentang konservasi alam seiring berjalannya waktu. Pada tahun 1960, era ketika Silent Spring yang ditulis Rachel Carson terbit dan menyadarkan dampak polusi pestisida terhadap ekosistem, konservasi adalah tentang melindungi alam sebagai entitas atau "nature for itself". Pada masa ini, batas area dilindungi mulai dibangun dan spesies mulai diperhatikan jumlahnya. Di Indonesia, hal ini terjadi sudah sejak 1912 ketika seorang botanis Belanda kelahiran Bandung, S. H. Kooders, mendirikan asosiasi konservasionis pertama di Indonesia dan mendorong pembangunan 55 cagar alam.
Pada tahun 1970an dan 1980an ketika dampak kegiatan manusia mulai terasa di alam, konservasi mulai lebih keras menekankan bahwa menjaga kelestarian alam penting lepas dari kondisi manusia atau "nature despite people". Ketika itu, CFC mulai diketahui menyebabkan kerusakan ozon, alam diketahui memiliki batas dalam mengatasi kuantitas polusi, dan perdebatan tentang penggunaan sumber daya secara berkelanjutan mulai marak.
Pada akhir 1990an, mulai tampak bahwa konservasi dengan pola pikir semacam ini gagal: laju kepunahan makin tinggi dan ancaman terhadap biodiversitas tidak berkurang. Manusia mulai memahami bahwa beberapa barang yang berasal dari alam tidak bisa digantikan dengan barang buatan manusia namun kerusakan alam tidak kunjung menjadi perhatian masyarakat. Air dan udara bersih, tumbuhan obat, perlindungan lahan dari erosi, predator pemakan hama... Perhitungan untung-rugi terhadap kesalahan pengelolaan sumber daya alam mulai populer dan jasa ekosistem mulai dikenal. Pada masa ini, tujuan konservasi adalah menjaga agar ekosistem terus memberikan keuntungan yang berkelanjutan bagi masyarakat dalam bentuk barang dan jasa ekosistem, atau "nature for people".
Pendekatan terakhir ini telah menghasilkan stabilitas yang cukup baik bagi alam di banyak tempat. Kabar baik mulai berdatangan. Hubungan antara manusia dengan alam mulai disadari penting untuk mengonservasi alam. Manusia membantu alam dan alam membantu manusia. Pemahaman "people and nature" kemudian muncul untuk menekankan pentingnya struktur dan institusi budaya yang sesungguhnya ada selama ini untuk menjaga hubungan yang stabil dan berkelanjutan antara manusia dengan alam.
Tujuan konservasi memang berubah seiring waktu, tergantung ideologi apa yang sedang dominan pada suatu masa. Perubahan pola pikir yang telah terjadi dengan konservasi muncul dalam kurun waktu yang relatif singkat sehingga pertanyaan "mengapa konservasi" sekarang dijawab dengan beraneka macam dasar. Tidak semua saling setuju dengan alasan atau cara yang lain. Tahun lalu,seri tulisan panjang di Mongabay mengupas tentang upaya-upaya konservasi yang dianggap makin menyimpang dari "tujuan asli konservasi" karena pelibatan modal besar. Kritik dari Antropologi mengungkapkan betapa NGO sekarang menjadi semacam transisi antara perusahaan trans-nasional dan agen pembangunan pemerintah. Sebagai bagian dari perdebatan, sebuah gerakan bernama "Reclaim Conservation" mengklaim berupaya memperbaiki situasi ini dan mengembalikan konservasi dari praktik kapitalis yang menggerogoti para NGO besar. Padahal, "keliru" itu hanya masalah perspektif, yang kebetulan saat ini ada banyak sekali, terima kasih kepada globalisasi.
Saat ini, ada banyak sudut pandang dengan berbagai alasan mereka untuk melakukan konservasi dan cara yang mereka anggap paling penting untuk konservasi. Future of Conservation mengidentifikasi empat di antaranya berdasarkan tingkat kapitalisme dan interaksi manusia-alam:
1. Konservasi Baru (New Conservation)
Para Konservasionis Baru melihat konservasi sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan manusia untuk menjaga biodiversitas. Posisi ini percaya bahwa konservasi akan berhasil ketika masyarakat merasakan manfaat dari konservasi, yang kerap dilakukan dengan mendukung pertumbuhan ekonomi masyarakat dan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan. Para penggagas konservasionis baru merasa bahwa menekankan nilai instrumental alam lebih efektif dalam menggalang dukungan untuk konservasi alih-alih sekedar memperjuangkan hak spesies untuk ada.
2. Konservasi Tradisional (Traditional Conservation)
Para Konservasionis Tradisional umumnya mendukung perlindungan alam karena nilai dari keberadaan alam itu sendiri atau nilai intrinsik alam. Biasanya para pendukung gagasan Konservasi Tradisional lah yang kerap mengritisi pertumbuhan ekonomi dan pasar sebagai sarana konservasi. Mereka percaya bahwa dengan memasukkan pendekatan pasar, konservasi berisiko menjadi sekedar sarana menjual alam dengan mengabaikan spesies-spesies dengan nilai ekonomi rendah.
3. Biosentrisme Pasar (Market Biocentrism)
Biosentrisme Pasar adalah alasan konservasi yang didasarkan nilai intrinsik alam dan pertumbuhan ekonomi sekaligus, kira-kira gabungan antara Konservasi Baru dan Tradisional, namun belum ada praktik konservasi semacam ini yang ditemukan dalam literatur. Salah satu contoh yang paling mendekati Biosentrisme Pasar adalah gagasan E. O. Wilson dalam bukunya "Half-Earth" yang memperjuangkan pembagian separuh Bumi untuk area suaka alam dan separuh sisanya untuk manusia. Target ambisius ini senada dengan Konservasi Tradisional dalam hal melindungi alam, namun kurang mengakomodir Konservasi Baru dalam meningkatkan nilai biodiversitas.
4. Ilmu Sosial Kritis (Critical Social Science)
Menurut para ahli ilmu sosial, perdebatan seputar konservasi harus mengutamakan diskusi tentang dampak konservasi terhadap kesejahteraan manusia. Dengan kata lain, pendukung gagasan ini sepakat bahwa konservasi harus memperhatikan efek samping negatif segala strategi sambil mengarahkan inisiasi konservasi agar fokus kepada kesejahteraan manusia. Namun, ahli ilmu sosial cenderung skeptis dengan kemampuan pasar dan kapitalisme dalam memberikan keuntungan bagi alam dan manusia.
Untuk lebih banyak memahami perdebatan ini, sila kunjungi situs Future of Conservation dan mungkin ikuti kuisnya untuk mengetahui posisi pembaca dalam perdebatan ini. Namun, perlu diiingat bahwa empat kelompok ini merupakan oversimplifikasi dari perdebatan yang sesungguhnya sedang berlangsung tentang apa yang terbaik untuk konservasi.
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia sendiri saat ini mendekati Konservasi Baru mengingat desakan pemerintah agar kawasan konservasi memberikan manfaat dalam Hari Konservasi Alam Nasional tahun ini. Namun, secara umum Indonesia masih cukup tradisional; sebuah kumpulan bunga rampai berjudul "Nasionalisme Lingkungan" berupaya menginternalisasi kesadaran menjaga alam sebagai ideologi bangsa sementara publikasi MUI "Pelestarian Satwa Langka untuk Keseimbangan Ekosistem" lengkap dengan buku khutbah Jumat hadir untuk membawa kehidupan beragama di Indonesia senada dengan konservasi alam. Apa pun alasan konservasi, tujuan menjaga keseimbangan ekosistem tidak berubah.
Di manakah Tambora dalam perdebatan ini? Berdasarkan tes yang disusun Future of Conservation, keempat sudut pandang dimiliki oleh para pengurus Tambora. Tambora percaya bahwa upaya konservasi memerlukan pendekatan inter-disiplin dengan melibatkan berbagai sudut pandang dan keilmuan, terutama karena setiap praktik konservasi bergantung kepada misi dan filosofi yang dominan di suatu area; tidak bisa disamaratakan.
Sayangnya, penulis belum menemukan kaleidoskop konservasi Indonesia tahun 2017. Beberapa ulasan tentang upaya-upaya Indonesia secara umum untuk konservasi dapat ditemukan di berbagai media massa nasional atau laporan terbuka beberapa NGO yang berbasis di Indonesia. World Research Institute (WRI) Indonesia, sebagai contoh, mengeluarkan hasil studi mereka tentang bagaimana kemajuan Indonesia dalam mencapai target mitigasi efek gas rumah kaca tahun ini. Konservasi kawasan laut pun sempat banyak mengisi ruang-ruang media nasional dengan kehadiran hibah konservasi dugong. Salah seorang konservasionis Indonesia yang berkutat di pelestarian orangutan juga masuk ke nominasi penghargaan konservasionis internasional tahun ini.
Kabar buruk masih belum sepenuhnya hilang dari wacana konservasi Indonesia. Satwa-satwa karismatik Indonesia masih terancam bahaya pemburuan dan jumlahnya masih belum bertambah. Kematian gajah karena racun masih menjadi berita tahun ini sementara studi baru tentang penghitungan jumlah badak menangkap risiko kepunahan salah satu spesies megafauna Indonesia. Sampah plastik, meskipun terdengar klise, masih saja menjadi salah satu masalah lingkungan Indonesia; laut dan sungai menjadi korban sampah plastik masyarakat sampai empat sungai Indonesia masuk 20 besar sungai terkotor di dunia.
Namun, tidak tepat menilai keberhasilan konservasi alam hanya dari kilas balik satu tahun. Kawasan laut dan hutan yang masih bisa kita nikmati sekarang adalah hasil kerja keras puluhan generasi sebelum kita. Tua namun tidak kadaluarsa, adalah sekumpulan esai yang dapat dinikmati pembaca tentang kompleksitas dunia konservasi di Indonesia oleh Wiratno, anggota Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam yang menghabiskan satu dekade terakhir karirnya bekerja dalam dunia konservasi alam Indonesia dari Siberut hingga Papua. Dengan judul "Solusi Jalan Tengah", Wiratno berupaya memaparkan mosaik tantangan dan peluang konservasi di seluruh pelosok Indonesia yang ia kunjungi. Teman-teman akan mendapatkan perdebatan seputar pendekatan konservasi dalam konteks yang lebih sesuai dengan kondisi sosial Indonesia dalam kumpulan esai tersebut.
Tulisan ini sesungguhnya diinspirasi oleh salah seorang anggota Tambora beberapa waktu lalu yang bertanya tentang "kondisi konservasi" saat ini. "Saya takut beda persepsi konservasi, Mbak. Soalnya saya diajarinya konservasi air dan tanah saja sewaktu kuliah."
Aha.
Hingga pertanyaan itu tiba, saya baru menyadari bahwa tidak semua orang, bahkan anggota Tambora sekalipun, memiliki persepsi yang seragam tentang arti kata "konservasi". Apakah yang dimaksud dengan "konservasi"? Apakah menjaga kandungan nutrisi tanah termasuk konservasi? Apakah hemat bensin termasuk konservasi? Apakah bayar kantong plastik sebanyak Rp200,- waktu belanja di minimarket termasuk konservasi? Apakah menjadi vegetarian termasuk konservasi?
Saya akui kata konservasi digunakan banyak disiplin dan tema untuk mengacu ke banyak hal. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ini didefinisikan dengan cukup umum: sebagai nominal (kata benda) yang berarti (1) pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan; pengawetan; pelestarian; dan (2) proses menyaput bagian dalam badan mobil, kapal, dan sebagainya untuk mencegah karat. Menariknya, definisi kata "konservasionis" dalam KBBI sebagai pelaku konservasi tidak mengakomodir penyaputan bagian dalam kendaraan:
konservasionis/kon·ser·va·si·o·nis/ /konsérvasionis/ n orang yang mempertahankan kelestarian alam atau lingkungan: kelompok -- marah besar terhadap alasan negara itu membunuh 68 ekor pausSenada dengan KBBI, tampaknya kata "konservasi" berhasil dimonopoli oleh bidang konservasi biologi secara global. Berikut grafik tren pencarian di Google selama lebih dari satu dekade terakhir di seluruh dunia untuk kata "konservasi" berdasarkan minat per waktu (interest over time). Jadi, angka berikut adalah persentase pencarian kata dibanding kata-kata yang lain pada waktu yang dirujuk. Hasil pencuplikan acak, tentunya. Google menemukan bahwa tiga pencarian terbanyak untuk kata "konservasi" selalu terkait dengan "alam", "tanah", atau "hutan".
Ada kenaikan tren secara perlahan sejak tahun 2010 untuk pencarian kata ini. Saya sempat berpikir bahwa ini terjadi karena sekitar tahun 2008-2013, banyak komitmen dalam isu seputar konservasi, semisal target pengurangan emisi gas rumah kaca pada tahun 2009, pendirian Satuan Tugas REDD+ pada tahun 2010, kesepakatan untuk meratifikasi Protokol Nagoya pada tahun 2010... ada lagi berita menarik lainnya? Uniknya, tren pencarian kata ini cenderung menurun selama lebih dari satu dekade terakhir ketika kita hanya melihat Indonesia sebagai negara asal pencari.
Jika pembaca sekalian ingin mengulik sendiri tren pencarian kata di Google, sila mampir ke tautan ini atau baca lebih banyak tentang cara menggunakan Google Trends.
Jadi, kata 'konservasi' sesungguhnya cukup "dimonopoli" oleh bidang konservasi biologi, atau lebih sering disebut dalam singkatannya, biokonservasi. Dalam keumuman kata ini, tentu saja, ada keragaman wacana tentang bagaimana konservasi dilakukan, bahkan dalam isu yang paling dasar: mengapa kita konservasi? Bagaimana dunia memandang konservasi? Bagaimana Indonesia memandang konservasi?
Konservasi, Untuk Apa?
Untuk mengenalkan teman-teman kepada dunia konservasi, saya ingin merekomendasikan dua tulisan salah seorang anggota Tambora yang panjang nan ringan tentang alasan konservasi: "Ngapain Peduli Hutan, Kan Gue Tinggal di Kota" dan "Kenapa Harus Repot Melindungi Hewan Langka?". Dalam tujuan kedua tulisan ini untuk membuat materi edukasi makin relevan dengan kehidupan sehari-hari, penulis kedua artikel tersebut banyak mengutip hukum ekologi dan proses-proses ekosistem yang membuat konservasi alam penting. Intinya, manusia terhubung sangat banyak dengan alam sehingga kita perlu memastikan alam cukup "sehat" untuk kita terus bisa memenuhi kebutuhan kita. Perlu diperhatikan bahwa alasan-alasan ini ditulis dengan sudut pandang manusia, atau dalam dunia konservasi dikenal dengan Antroposentris. Ada banyak jenis alasan untuk mengonservasi biodiversitas, masing-masing dengan justifikasi etis setiap alasan.Dalam sebuah artikel di Science, "Whose Conservation?" (Konservasi Milik Siapa?) menjelaskan empat fase perubahan pola pikir manusia tentang konservasi alam seiring berjalannya waktu. Pada tahun 1960, era ketika Silent Spring yang ditulis Rachel Carson terbit dan menyadarkan dampak polusi pestisida terhadap ekosistem, konservasi adalah tentang melindungi alam sebagai entitas atau "nature for itself". Pada masa ini, batas area dilindungi mulai dibangun dan spesies mulai diperhatikan jumlahnya. Di Indonesia, hal ini terjadi sudah sejak 1912 ketika seorang botanis Belanda kelahiran Bandung, S. H. Kooders, mendirikan asosiasi konservasionis pertama di Indonesia dan mendorong pembangunan 55 cagar alam.
![]() |
Tahura Depok, salah satu cagar alam pertama Indonesia yang ditetapkan untuk melindungi hutan di kawasan Depok yang makin menyusut (Sumber foto dan info: Poestana Depok dan Wikipedia) |
Pada akhir 1990an, mulai tampak bahwa konservasi dengan pola pikir semacam ini gagal: laju kepunahan makin tinggi dan ancaman terhadap biodiversitas tidak berkurang. Manusia mulai memahami bahwa beberapa barang yang berasal dari alam tidak bisa digantikan dengan barang buatan manusia namun kerusakan alam tidak kunjung menjadi perhatian masyarakat. Air dan udara bersih, tumbuhan obat, perlindungan lahan dari erosi, predator pemakan hama... Perhitungan untung-rugi terhadap kesalahan pengelolaan sumber daya alam mulai populer dan jasa ekosistem mulai dikenal. Pada masa ini, tujuan konservasi adalah menjaga agar ekosistem terus memberikan keuntungan yang berkelanjutan bagi masyarakat dalam bentuk barang dan jasa ekosistem, atau "nature for people".
![]() |
Masyarakat Desa Nanga Lauk yang mempelajari pengolahan karet di Desa Tanjung, Kabupaten Kapuas Hulu, sebagai insentif untuk menanam pohon karet merupakan contoh pendekatan nature for people dan Konservasi Baru (Sumber foto dan berita: PRCF Indonesia) |
Tujuan konservasi memang berubah seiring waktu, tergantung ideologi apa yang sedang dominan pada suatu masa. Perubahan pola pikir yang telah terjadi dengan konservasi muncul dalam kurun waktu yang relatif singkat sehingga pertanyaan "mengapa konservasi" sekarang dijawab dengan beraneka macam dasar. Tidak semua saling setuju dengan alasan atau cara yang lain. Tahun lalu,seri tulisan panjang di Mongabay mengupas tentang upaya-upaya konservasi yang dianggap makin menyimpang dari "tujuan asli konservasi" karena pelibatan modal besar. Kritik dari Antropologi mengungkapkan betapa NGO sekarang menjadi semacam transisi antara perusahaan trans-nasional dan agen pembangunan pemerintah. Sebagai bagian dari perdebatan, sebuah gerakan bernama "Reclaim Conservation" mengklaim berupaya memperbaiki situasi ini dan mengembalikan konservasi dari praktik kapitalis yang menggerogoti para NGO besar. Padahal, "keliru" itu hanya masalah perspektif, yang kebetulan saat ini ada banyak sekali, terima kasih kepada globalisasi.
Saat ini, ada banyak sudut pandang dengan berbagai alasan mereka untuk melakukan konservasi dan cara yang mereka anggap paling penting untuk konservasi. Future of Conservation mengidentifikasi empat di antaranya berdasarkan tingkat kapitalisme dan interaksi manusia-alam:
1. Konservasi Baru (New Conservation)
Para Konservasionis Baru melihat konservasi sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan manusia untuk menjaga biodiversitas. Posisi ini percaya bahwa konservasi akan berhasil ketika masyarakat merasakan manfaat dari konservasi, yang kerap dilakukan dengan mendukung pertumbuhan ekonomi masyarakat dan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan. Para penggagas konservasionis baru merasa bahwa menekankan nilai instrumental alam lebih efektif dalam menggalang dukungan untuk konservasi alih-alih sekedar memperjuangkan hak spesies untuk ada.
2. Konservasi Tradisional (Traditional Conservation)
Para Konservasionis Tradisional umumnya mendukung perlindungan alam karena nilai dari keberadaan alam itu sendiri atau nilai intrinsik alam. Biasanya para pendukung gagasan Konservasi Tradisional lah yang kerap mengritisi pertumbuhan ekonomi dan pasar sebagai sarana konservasi. Mereka percaya bahwa dengan memasukkan pendekatan pasar, konservasi berisiko menjadi sekedar sarana menjual alam dengan mengabaikan spesies-spesies dengan nilai ekonomi rendah.
3. Biosentrisme Pasar (Market Biocentrism)
Biosentrisme Pasar adalah alasan konservasi yang didasarkan nilai intrinsik alam dan pertumbuhan ekonomi sekaligus, kira-kira gabungan antara Konservasi Baru dan Tradisional, namun belum ada praktik konservasi semacam ini yang ditemukan dalam literatur. Salah satu contoh yang paling mendekati Biosentrisme Pasar adalah gagasan E. O. Wilson dalam bukunya "Half-Earth" yang memperjuangkan pembagian separuh Bumi untuk area suaka alam dan separuh sisanya untuk manusia. Target ambisius ini senada dengan Konservasi Tradisional dalam hal melindungi alam, namun kurang mengakomodir Konservasi Baru dalam meningkatkan nilai biodiversitas.
4. Ilmu Sosial Kritis (Critical Social Science)
Menurut para ahli ilmu sosial, perdebatan seputar konservasi harus mengutamakan diskusi tentang dampak konservasi terhadap kesejahteraan manusia. Dengan kata lain, pendukung gagasan ini sepakat bahwa konservasi harus memperhatikan efek samping negatif segala strategi sambil mengarahkan inisiasi konservasi agar fokus kepada kesejahteraan manusia. Namun, ahli ilmu sosial cenderung skeptis dengan kemampuan pasar dan kapitalisme dalam memberikan keuntungan bagi alam dan manusia.
Untuk lebih banyak memahami perdebatan ini, sila kunjungi situs Future of Conservation dan mungkin ikuti kuisnya untuk mengetahui posisi pembaca dalam perdebatan ini. Namun, perlu diiingat bahwa empat kelompok ini merupakan oversimplifikasi dari perdebatan yang sesungguhnya sedang berlangsung tentang apa yang terbaik untuk konservasi.
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia sendiri saat ini mendekati Konservasi Baru mengingat desakan pemerintah agar kawasan konservasi memberikan manfaat dalam Hari Konservasi Alam Nasional tahun ini. Namun, secara umum Indonesia masih cukup tradisional; sebuah kumpulan bunga rampai berjudul "Nasionalisme Lingkungan" berupaya menginternalisasi kesadaran menjaga alam sebagai ideologi bangsa sementara publikasi MUI "Pelestarian Satwa Langka untuk Keseimbangan Ekosistem" lengkap dengan buku khutbah Jumat hadir untuk membawa kehidupan beragama di Indonesia senada dengan konservasi alam. Apa pun alasan konservasi, tujuan menjaga keseimbangan ekosistem tidak berubah.
Di manakah Tambora dalam perdebatan ini? Berdasarkan tes yang disusun Future of Conservation, keempat sudut pandang dimiliki oleh para pengurus Tambora. Tambora percaya bahwa upaya konservasi memerlukan pendekatan inter-disiplin dengan melibatkan berbagai sudut pandang dan keilmuan, terutama karena setiap praktik konservasi bergantung kepada misi dan filosofi yang dominan di suatu area; tidak bisa disamaratakan.
Apakah Konservasi Berhasil?
Perdebatan tentang alasan konservasi, serumit apa pun itu, penting dalam membangun motivasi manusia untuk lebih banyak sadar tentang peran mereka dalam sistem alam. Dengan beragam motivasi dan alasan, berbagai pihak di seluruh dunia mengusahakan apa yang menurut mereka terbaik untuk menjaga keberlangsungan ekosistem dan keberadaan spesies. Salah satu kemajuan konservasi ditandai dengan adanya Conservation Optimism Summit tahun 2017 ini, yang berupaya menekankan berita konservasi ke kisah-kisah yang berhasil alih-alih kisah-kisah yang gagal. WWF memiliki kompilasi kisah sukses konservasi tahun ini dari seluruh dunia yang bisa disimak di sini dan sini, begitu juga dengan National Geographic di sini.Sayangnya, penulis belum menemukan kaleidoskop konservasi Indonesia tahun 2017. Beberapa ulasan tentang upaya-upaya Indonesia secara umum untuk konservasi dapat ditemukan di berbagai media massa nasional atau laporan terbuka beberapa NGO yang berbasis di Indonesia. World Research Institute (WRI) Indonesia, sebagai contoh, mengeluarkan hasil studi mereka tentang bagaimana kemajuan Indonesia dalam mencapai target mitigasi efek gas rumah kaca tahun ini. Konservasi kawasan laut pun sempat banyak mengisi ruang-ruang media nasional dengan kehadiran hibah konservasi dugong. Salah seorang konservasionis Indonesia yang berkutat di pelestarian orangutan juga masuk ke nominasi penghargaan konservasionis internasional tahun ini.
Kabar buruk masih belum sepenuhnya hilang dari wacana konservasi Indonesia. Satwa-satwa karismatik Indonesia masih terancam bahaya pemburuan dan jumlahnya masih belum bertambah. Kematian gajah karena racun masih menjadi berita tahun ini sementara studi baru tentang penghitungan jumlah badak menangkap risiko kepunahan salah satu spesies megafauna Indonesia. Sampah plastik, meskipun terdengar klise, masih saja menjadi salah satu masalah lingkungan Indonesia; laut dan sungai menjadi korban sampah plastik masyarakat sampai empat sungai Indonesia masuk 20 besar sungai terkotor di dunia.
Namun, tidak tepat menilai keberhasilan konservasi alam hanya dari kilas balik satu tahun. Kawasan laut dan hutan yang masih bisa kita nikmati sekarang adalah hasil kerja keras puluhan generasi sebelum kita. Tua namun tidak kadaluarsa, adalah sekumpulan esai yang dapat dinikmati pembaca tentang kompleksitas dunia konservasi di Indonesia oleh Wiratno, anggota Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam yang menghabiskan satu dekade terakhir karirnya bekerja dalam dunia konservasi alam Indonesia dari Siberut hingga Papua. Dengan judul "Solusi Jalan Tengah", Wiratno berupaya memaparkan mosaik tantangan dan peluang konservasi di seluruh pelosok Indonesia yang ia kunjungi. Teman-teman akan mendapatkan perdebatan seputar pendekatan konservasi dalam konteks yang lebih sesuai dengan kondisi sosial Indonesia dalam kumpulan esai tersebut.
Bagaimana Selanjutnya?
Membangun seribu candi tidak dapat dilakukan dalam satu malam (kecuali kita Bandung Bandawasa), dan demikian halnya membangun pola pikir dan budaya konservasi yang sesuai dengan kebutuhan suatu area. Tahun ini, seri liputan lain Mongabay berusaha menjawab pertanyaan tersebut untuk menilai efektivitas pengambilan keputusan oleh lembaga konservasi besar, menekankan bahwa konservasi adalah tentang mengambil keputusan yang sulit: tidak cukup banyak waktu, cukup banyak yang harus dilakukan. Apakah kita harus menjaga eksistensi suatu spesies atau cukup menjaga fungsi ekosistem tetap berlangsung? Sejauh mana masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dilibatkan dalam pengambilan keputusan?
Sebagian besar masalah dalam konservasi tampak begitu kompleks dan rumit sampai mungkin, seperti kata teman-teman saya dari luar konservasi, "Kamu cerita seakan tidak ada gunanya lagi melakukan apa pun untuk hewan-hewan itu."
Mungkin para konservasionis harus berhenti menceritakan ke sanak saudara dan handai taulan mereka bahwa apa yang mereka lakukan sulit dan rumit. Ucapan adalah doa, kata orang-orang. Semesta akan mendukung mentalitas yang kita bangun.
Di tengah banyaknya kisah gagal dan perjuangan alot, kita tak boleh melupakan kisah-kisah yang berhasil di samping kisah-kisah yang gagal. Kementrian Lingkungan Hidup tidak langsung ada ketika Indonesia pertama ada. Jaringan perdagangan satwa ilegal perlahan terkuak. Masyarakat mulai lambat laun sadar tentang pencemaran lingkungan hingga muncul inovasi bank sampah dan upaya pengelolaan sampah. Masyarakat pedesaan di berbagai pelosok Indonesia terus berjuang menjaga sumber air dan hutan. Gerakan-gerakan kecil ini ada, nyata, dan akan terus bermunculan. Di tengah era globalisasi dengan terjangan arus informasi, konservasi perlu turut mengalami perkembangan ilmu dan filosofi dalam pelaksanaannya agar tetap bertahan.
Di tengah banyaknya kisah gagal dan perjuangan alot, kita tak boleh melupakan kisah-kisah yang berhasil di samping kisah-kisah yang gagal. Kementrian Lingkungan Hidup tidak langsung ada ketika Indonesia pertama ada. Jaringan perdagangan satwa ilegal perlahan terkuak. Masyarakat mulai lambat laun sadar tentang pencemaran lingkungan hingga muncul inovasi bank sampah dan upaya pengelolaan sampah. Masyarakat pedesaan di berbagai pelosok Indonesia terus berjuang menjaga sumber air dan hutan. Gerakan-gerakan kecil ini ada, nyata, dan akan terus bermunculan. Di tengah era globalisasi dengan terjangan arus informasi, konservasi perlu turut mengalami perkembangan ilmu dan filosofi dalam pelaksanaannya agar tetap bertahan.
Begitulah kisah konservasi sampai saat ini. Bagaimana menurutmu kita akan berjalan tahun depan?
Hilleroed, 31 Desember 2017
Sabhrina Gita Aninta
Pengelolaan SDM Tambora