Spesies, seperti halnya pasar, juga bisa kaget. Tahu 'kan, pasar kaget? Pasar yang tiba-tiba ada di suatu tempat-tempat dan waktu-waktu strategis ketika orang yang punya daya beli paling banyak ada di suatu tempat? Kalau di Bandung, Gasibu yang ada setiap Minggu itu termasuk salah satu contoh pasar kaget, atau pasar yang ada di depan Masjid Salman ITB setiap Jumatan. Pada bulan puasa, umumnya banyak sekali pasar kaget yang ada di banyak daerah di Indonesia. Mungkin dekat rumahmu ada satu.
Seperti halnya pasar kaget, "spesies kaget" adalah spesies yang mendadak melimpah di suatu area. Kesamaan antara kedua hal ini adalah: (1) mereka sama-sama tiba-tiba ada dalam jumlah banyak di suatu area karena peluang mendapatkan sumber daya/keuntungan dari area tersebut, dan (2) mereka tidak benar-benar berasal dari tempat mereka tiba-tiba melimpah. Spesies "kaget" ini lebih dikenal di dunia konservasi sebagai spesies asing invasif atau lebih singkatnya, spesies invasif.
Pada Hari Biodiversitas Sedunia tanggal 22 Mei silam, Tambora membagikan infografik tentang jumlah spesies yang ada di Indonesia termasuk ancaman-ancaman terhadap mereka. Salah satu dari ancaman itu adalah "invasi spesies asing". Redaksi Tambora sedikit tergelitik membaca salah satu komentar pembaca di media sosial yang bertanya, "Invasi itu maksudnya dari planet lain?"
Lepas dari pembaca tersebut mungkin bercanda atau terpengaruh penggunaan gambar yang menjurus, tidak banyak penduduk Indonesia yang tahu tentang invasi spesies asing di tanahair. Penjelasan yang diberikan KBBI tentang kata "invasi" itu sendiri mengindikasikan serangan yang sengaja oleh suatu kelompok atau proses masuk berbondong-bondong. Ini tentu tidak mudah dicerna karena kita tidak melihat spesies-spesies tersebut masuk dengan berbondong-bondong seperti rombongan keluarga pemburu takjil di pasar kaget. Modus operandi spesies asing selalu bermula dari segelintir individu yang kemudian melonjak jumlahnya setelah waktu tertentu. Terbiasa tumbuh bersama spesies yang semula sedikit ini, tidak akan banyak yang sadar kalau spesies ini tiba-tiba banyak sampai menggusur spesies lain, seperti rasa yang pelan-pelan muncul kepada gebetan.
Invasi spesies asing telah menjadi masalah di Indonesia sejak lama. Spesies invasif telah menjadi perhatian Indonesia sejak Konvensi Keanekaragaman Hayati yang dikaji dalam KTT di Rio di Janeiro tahun 1992 diratifikasi dalam UU nomor 5 tahun 1994. Namun, mengelola spesies invasif sangat sulit. Dalam Hari Biodiversitas Dunia tahun 2009, semakin banyak spesies invasif yang menjadi masalah di Indonesia, dan sampai beberapa tahun belakangan terus menjadi agenda pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam. Beberapa spesies invasif yang terkenal di Indonesia adalah eceng gondok (Eichhornia crassipes) yang tengah mengeringkan Rawa Pening hingga kini, hama keong emas (Pomaceae canaliculata) yang menjadi masalah sehari-hari para petani, dan pohon akasia (Acacia nilotica) yang sedang memadati savana Taman Nasional Baluran.
Spesies invasif begitu merepotkan karena dapat menggunakan sumber daya di habitatnya lebih efisien dari spesies lain. Umumnya hal ini terjadi karena spesies invasif berasal dari luar daerah tersebut sehingga tidak memiliki musuh alami yang dapat menekan pertumbuhan populasinya. Kelakuan eceng gondok dalam mengonsumsi air dan oksigen dengan sangat efisien sehingga menghasilkan eceng gondok baru dengan kapasitas konsumsi yang sama cukup fatal bagi ikan-ikan di Rawa Pening. Kondisi ini dapat berujung ke matinya banyak spesies ikan di rawa tersebut dan penurunan jumlah spesies. Jika keragaman spesies menurun, bukan tidak mungkin fungsi ekosistem juga terganggu. Masalah yang sama dihadapi pula dengan keong emas, akasia, dan kini ikan kepala buaya (Lepisus peus) di Sungai Cikapundung dan berbagai penjuru perairan air tawar Indonesia, yang memangsa ikan-ikan air tawar setempat dan tambahan spesies asing di Baluran yang mengancam pertumbuhan spesies tumbuhan endemik.
Perlu diketahui juga bahwa masalah spesies invasif di Indonesia tidak hanya karena spesies dari luar daerah administratif Indonesia. Persebaran tak semestinya spesies di dalam wilayah Indonesia sendiri juga dapat menjadi masalah walau tidak kasusnya tidak sesering spesies invasif dari luar Indonesia. Sebagai contoh, Papua memiliki masalah dengan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang datang dari Indonesia bagian barat. Teman-teman yang berdomisili di Jawa, Sumatera, dan Bali tempat monyet-monyet ini cukup melimpah tentu tahu betapa hebohnya perjuangan mempertahankan harta benda dari monyet-monyet ini ketika kita bertatap muka dengan mereka. Saat ini monyet ekor panjang masih tergolong "langka" di Papua, namun mengingat efisiensi hewan untuk menyesuaikan diri dan berkembang biak, bukan tidak mungkin mereka akan menjadi masalah bagi biota Papua pada masa mendatang.
Apa yang bisa kita lakukan? Jangan kaget.
Dalam konvensi yang telah diratifikasi, pencegahan penyebaran dapat dilakukan dengan karantina dan penanggulangan biasa dilakukan dengan pemusnahan langsung atau introduksi musuh alami. Hal ini telah dilakukan dengan eceng gondok, akasia, dan beberapa spesies invasif perairan. Kita dapat membantu upaya ini dengan tidak sembarangan membawa tumbuhan atau hewan dari luar daerah kita seberapa pun nenek, ibu, bapak, adik, gebetan atau tetangga memohon ketika mereka tahu kita sedang berada di area eksotis. Selain introduksi dari perdagangan, hobi memelihara hewan hias eksotik dari luar juga menjadi salah satu sumber spesies invasif ini. Tidak jarang ada kabar ikan lepas ke selokan atau sungai setempat ketika akuarium dikuras, atau dalam kasus ikan kepala buaya, ada yang membudidayakan hewan tersebut langsung di perairan setempat.
Jangan lupa pula ikut mengontrol kelakuan spesies kaget yang baru ada di Bumi selama 300.000 tahun terakhir tapi sudah banyak mengubah susunan spesies ekosistem: manusia. Manusia juga merupakan spesies kaget yang mendadak melimpah di Bumi dan menggusur keberadaan spesies lain dengan pertumbuhan dan perilakunya. Namun, kita bisa membedakan status kita dari spesies kaget lain dengan menjadi spesies kaget yang bertanggung jawab.
Munich, 13 Juni 2017
Sabhrina Gita Aninta

Seperti halnya pasar kaget, "spesies kaget" adalah spesies yang mendadak melimpah di suatu area. Kesamaan antara kedua hal ini adalah: (1) mereka sama-sama tiba-tiba ada dalam jumlah banyak di suatu area karena peluang mendapatkan sumber daya/keuntungan dari area tersebut, dan (2) mereka tidak benar-benar berasal dari tempat mereka tiba-tiba melimpah. Spesies "kaget" ini lebih dikenal di dunia konservasi sebagai spesies asing invasif atau lebih singkatnya, spesies invasif.
![]() |
Kehadiran spesies invasif kadang memang membuat kaget. |
Pada Hari Biodiversitas Sedunia tanggal 22 Mei silam, Tambora membagikan infografik tentang jumlah spesies yang ada di Indonesia termasuk ancaman-ancaman terhadap mereka. Salah satu dari ancaman itu adalah "invasi spesies asing". Redaksi Tambora sedikit tergelitik membaca salah satu komentar pembaca di media sosial yang bertanya, "Invasi itu maksudnya dari planet lain?"
Lepas dari pembaca tersebut mungkin bercanda atau terpengaruh penggunaan gambar yang menjurus, tidak banyak penduduk Indonesia yang tahu tentang invasi spesies asing di tanahair. Penjelasan yang diberikan KBBI tentang kata "invasi" itu sendiri mengindikasikan serangan yang sengaja oleh suatu kelompok atau proses masuk berbondong-bondong. Ini tentu tidak mudah dicerna karena kita tidak melihat spesies-spesies tersebut masuk dengan berbondong-bondong seperti rombongan keluarga pemburu takjil di pasar kaget. Modus operandi spesies asing selalu bermula dari segelintir individu yang kemudian melonjak jumlahnya setelah waktu tertentu. Terbiasa tumbuh bersama spesies yang semula sedikit ini, tidak akan banyak yang sadar kalau spesies ini tiba-tiba banyak sampai menggusur spesies lain, seperti rasa yang pelan-pelan muncul kepada gebetan.
Sedikit tentang Spesies Invasif
Tidak semua spesies asing yang masuk ke dalam suatu wilayah dapat dikatakan sebagai spesies invasif. Spesies asing dapat didefinisikan sebagai spesies yang belum pernah ada dalam wilayah yang diacu. Spesies invasif adalah spesies asing yang sangat berhasil dalam menemukan strategi mencocokkan diri dengan wilayah baru sehingga jumlahnya meningkat sangat pesat, mengambil alih sumber daya sangat banyak sampai menghambat pertumbuhan populasi spesies lain yang merupakan spesies asli di wilayah tersebut. Secara ilmiah, ada beberapa tahapan yang diperlukan suatu spesies asing agar bisa menjadi invasif, mulai dari masuknya bibit spesies asing sampai dengan ketika spesies asing menjadi dominan. Berbagai istilah diberikan kepada spesies asing yang sedang berada dalam tahapan invasi yang berbeda untuk mengacu kepada proses yang sedang dilalui spesies.Invasi spesies asing telah menjadi masalah di Indonesia sejak lama. Spesies invasif telah menjadi perhatian Indonesia sejak Konvensi Keanekaragaman Hayati yang dikaji dalam KTT di Rio di Janeiro tahun 1992 diratifikasi dalam UU nomor 5 tahun 1994. Namun, mengelola spesies invasif sangat sulit. Dalam Hari Biodiversitas Dunia tahun 2009, semakin banyak spesies invasif yang menjadi masalah di Indonesia, dan sampai beberapa tahun belakangan terus menjadi agenda pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam. Beberapa spesies invasif yang terkenal di Indonesia adalah eceng gondok (Eichhornia crassipes) yang tengah mengeringkan Rawa Pening hingga kini, hama keong emas (Pomaceae canaliculata) yang menjadi masalah sehari-hari para petani, dan pohon akasia (Acacia nilotica) yang sedang memadati savana Taman Nasional Baluran.
Spesies invasif begitu merepotkan karena dapat menggunakan sumber daya di habitatnya lebih efisien dari spesies lain. Umumnya hal ini terjadi karena spesies invasif berasal dari luar daerah tersebut sehingga tidak memiliki musuh alami yang dapat menekan pertumbuhan populasinya. Kelakuan eceng gondok dalam mengonsumsi air dan oksigen dengan sangat efisien sehingga menghasilkan eceng gondok baru dengan kapasitas konsumsi yang sama cukup fatal bagi ikan-ikan di Rawa Pening. Kondisi ini dapat berujung ke matinya banyak spesies ikan di rawa tersebut dan penurunan jumlah spesies. Jika keragaman spesies menurun, bukan tidak mungkin fungsi ekosistem juga terganggu. Masalah yang sama dihadapi pula dengan keong emas, akasia, dan kini ikan kepala buaya (Lepisus peus) di Sungai Cikapundung dan berbagai penjuru perairan air tawar Indonesia, yang memangsa ikan-ikan air tawar setempat dan tambahan spesies asing di Baluran yang mengancam pertumbuhan spesies tumbuhan endemik.
![]() |
Ikan kepala buaya atau ikan aligator yang ditemukan di Aceh pada pertengahan Mei 2016 silam, Sumber: Waspada.co.id (14/5/2016) |
Indonesia sebagai "Titik Panas" Spesies Invasif
Dalam sebuah studi yang keluar baru-baru ini di jurnal ilmiah Nature, wilayah kepulauan diketahui rawan kedatangan spesies invasif lebih banyak dari wilayah terestrial lain, terutama di area pantai. Hal ini kemungkinan karena kebanyakan negara yang bertempat di kepulauan tropis memiliki volume impor barang yang tinggi sehingga rentan kedatangan spesies asing. Wayne Dawson dari Durham University, UK, dan para koleganya menganalisis 609 wilayah dunia untuk mengetahui distribusi spesies invasif dari kelompok mamalia, burung, semut, laba-laba, ikan, tumbuhan, amfibi, dan reptil di seluruh dunia. Sebagai hasil, Indonesia sebagai bagian dari Australasia bersama dengan Florida didapati memiliki ragam spesies invasif tertinggi untuk semua kelompok organisme yang dipelajari. Dengan kata lain, Indonesia merupakan salah satu hotspot atau "titik panas" keanekaragaman spesies imvasif. Kita juga perli melihat Indonesia sebagai negara kepulauan yang sempat jadi pusat perdagangan dunia sejak abad ke-14 sehingga berpotensi menjadi tempat singgah spesies asing yang kemudian dapat menjadi invasif.Perlu diketahui juga bahwa masalah spesies invasif di Indonesia tidak hanya karena spesies dari luar daerah administratif Indonesia. Persebaran tak semestinya spesies di dalam wilayah Indonesia sendiri juga dapat menjadi masalah walau tidak kasusnya tidak sesering spesies invasif dari luar Indonesia. Sebagai contoh, Papua memiliki masalah dengan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang datang dari Indonesia bagian barat. Teman-teman yang berdomisili di Jawa, Sumatera, dan Bali tempat monyet-monyet ini cukup melimpah tentu tahu betapa hebohnya perjuangan mempertahankan harta benda dari monyet-monyet ini ketika kita bertatap muka dengan mereka. Saat ini monyet ekor panjang masih tergolong "langka" di Papua, namun mengingat efisiensi hewan untuk menyesuaikan diri dan berkembang biak, bukan tidak mungkin mereka akan menjadi masalah bagi biota Papua pada masa mendatang.
![]() |
Monyet ekor panjang muncul di jalan alternatif Entrop-Jaya Asri, Jayapura menggegerkan warga setempat karena kehadirannya tidak lazim di Bumi Papua. Sumber: Istimewa (27/12/2016) |
Apa yang bisa kita lakukan? Jangan kaget.
Dalam konvensi yang telah diratifikasi, pencegahan penyebaran dapat dilakukan dengan karantina dan penanggulangan biasa dilakukan dengan pemusnahan langsung atau introduksi musuh alami. Hal ini telah dilakukan dengan eceng gondok, akasia, dan beberapa spesies invasif perairan. Kita dapat membantu upaya ini dengan tidak sembarangan membawa tumbuhan atau hewan dari luar daerah kita seberapa pun nenek, ibu, bapak, adik, gebetan atau tetangga memohon ketika mereka tahu kita sedang berada di area eksotis. Selain introduksi dari perdagangan, hobi memelihara hewan hias eksotik dari luar juga menjadi salah satu sumber spesies invasif ini. Tidak jarang ada kabar ikan lepas ke selokan atau sungai setempat ketika akuarium dikuras, atau dalam kasus ikan kepala buaya, ada yang membudidayakan hewan tersebut langsung di perairan setempat.
![]() |
Satu unit Dredger pembersih eceng gondok sedang dioperasikan di kawasan Rawapening, Desa Asinan, Bawen, Rabu (11/1/2017). Sumber: Tribun Jateng/Daniel Ari Purnomo.
|
![]() |
Pemusnahan pohon-pohon akasia di Taman Nasional Baluran. Sumber: Copenhagen Zoo-Baluran National Park, dimuat di Mongabay dalam tulisan oleh Erik Meijaard (13/02/2017). |
Jangan lupa pula ikut mengontrol kelakuan spesies kaget yang baru ada di Bumi selama 300.000 tahun terakhir tapi sudah banyak mengubah susunan spesies ekosistem: manusia. Manusia juga merupakan spesies kaget yang mendadak melimpah di Bumi dan menggusur keberadaan spesies lain dengan pertumbuhan dan perilakunya. Namun, kita bisa membedakan status kita dari spesies kaget lain dengan menjadi spesies kaget yang bertanggung jawab.
Munich, 13 Juni 2017
Sabhrina Gita Aninta
