HCV and the RSPO: Report of an Independent Investigation into The Effectiveness of The Application of High Conservation Value Zoning in Palm Oil Development in Indonesia

 

https://imgs.mongabay.com/wp-content/uploads/sites/20/2016/04/01214843/MKaye_OrangutanPartnerships_Kaye-ptngo-5.jpg
 Sumber : https://imgs.mongabay.com/wp-content/uploads/sites/20/2016/04/01214843/MKaye_OrangutanPartnerships_Kaye-ptngo-5.jpg

UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memperkenalkan Hutan Hak sebagai hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Peraturan terbaru mengenai hutan hak terdapat dalam PP No. 3 Tahun 2008. Hutan hak memiliki fungsi:
a) konservasi,
b) lindung, atau
c) produksi.

Pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan sesuai dengan fungsinya, dan dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin tanpa mengurangi fungsinya. Secara umum, kebijakan terhadap hutan hak masih berorientasi pada komoditas kayu, dan aturan yang populer mengenai hutan hak adalah aturan pemanfaatan kayu. Berdasarkan status lahannya, HCVF (High Conservation Value Forest) termasuk ke dalam hutan hak, tetapi kawasan HCVF harus mendapat penunjukan dari Bupati/Walikota setempat.

HCV adalah bagian penting yang harus diidentifikasi dalam dokumen AMDAL. Pengelolaan HCV juga harus termasuk dalam dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL), yang merupakan upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting akibat rencana usaha/kegiatan. Dalam penilaian dokumen AMDAL, HCV seharusnya menjadi poin penting penilaian.

Pada tahun 2004, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), masyarakat, dan NGO mendiskusikan serta membuat standar dan kriteria minyak sawit yang lestari. HCVF atau hutan dengan nilai konservasi tinggi merupakan salah satu pokok bahasan tersebut. HCVF memiliki satu atau lebih dari ciri-ciri berikut:

  • HCV1: Mempunyai konsentrasi nilai keanekaragaman hayati yang penting secara global, regional, dan lokal.

  • HCV2: Mempunyai tingkat lanskap yang luas dan penting secara global/regional, berada di dalam atau mempunyai unit pengelolaan.

  • HCV3: Mempunyai ekosistem yang langka, terancam, atau hampir punah.

  • HCV4: Berfungsi sebagai pengatur alam dalam situasi kritis (misalnya perlindungan daerah aliran sungai, pengendalian erosi).

  • HCV5: Penting untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat lokal (kebutuhan pokok, kesehatan).

  • HCV6: Penting untuk identitas budaya tradisional masyarakat lokal (kawasan budaya, ekologi, ekonomi, agama yang penting dan diidentifikasi bersama masyarakat lokal).

Konsep HCVF dikembangkan oleh Forest Stewardship Council (FSC) pada 1999. RSPO kemudian mengadopsi HCVF ke dalam prinsip dan kriterianya. Prinsip 7 dan Kriteria 7.1 RSPO menyatakan perlunya kajian lingkungan dan sosial yang komprehensif sebelum menetapkan wilayah baru perkebunan maupun perluasan kawasan operasi. Hasil kajian harus diintegrasikan ke dalam perencanaan, pengelolaan, dan operasional. Panduan harus menjelaskan pihak yang berpartisipasi, peran pihak independen yang netral dan profesional, serta langkah-langkah jelas untuk kajian HCVF.

Akibat identifikasi HCVF, sering muncul potongan-potongan lanskap hutan di hamparan konsesi perkebunan. Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan wilayah berbasis lanskap untuk melindungi keanekaragaman hayati yang tersisa.

Dari prosedur RSPO, khususnya Principles and Criteria, mendorong upaya sukarela perusahaan untuk mengidentifikasi dan menghindari pembukaan area HCV. Area kritis HCV diperlukan untuk memelihara spesies langka atau hampir punah, ekosistem, bentang alam, jasa lingkungan penting, serta area penting bagi mata pencaharian lokal dan identitas budaya. Perusahaan diharapkan mengelola, mempertahankan, dan meningkatkan HCV yang dimilikinya.

Pada 2009, RSPO menerima laporan awal (preliminary reports) yang menemukan sejumlah masalah implementasi di lapangan, khususnya di Indonesia. Investigasi dilakukan oleh tim interdisiplin dari empat institusi: organisasi HAM internasional, Forest People Programme, SawitWatch, HuMA, dan Wild Asia, dengan pendampingan GAPKI dan Wilmar International.

Tahap investigasi:

  1. Analisis hukum dan dokumen — menetapkan kerangka hukum dan prosedur sebelum tindakan lanjutan.

  2. Kunjungan lapangan — ke tiga perusahaan di Kalimantan Barat (PT IP, PT PP, dan PT Wilmar Sambas Plantation).

  3. Pengambilan data — wawancara dengan masyarakat, perusahaan, LSM, dan pejabat pemerintah untuk mendapatkan perspektif berbeda dan rekomendasi perbaikan.

Temuan tantangan hukum HCV perusahaan perkebunan:

  1. Area HCV yang diidentifikasi tidak diproteksi, tetapi dialokasikan kepada perusahaan lain

    • Izin lokasi perusahaan diatur oleh Permen Agraria/Kepala BPN No. 2 Tahun 1999. Perusahaan memiliki waktu tiga tahun untuk mengakuisisi 50% lahan yang diajukan. Dalam waktu yang sama, perusahaan RSPO harus menyelesaikan AMDAL dan identifikasi HCV. Jika gagal, izin lokasi bisa dibatalkan dan dialihkan oleh pemerintah daerah ke perusahaan lain.

    • Contoh: Pada 2006, Bupati Kalimantan Barat membatalkan izin grup Wilmar untuk 120.110 ha, hanya mengembalikan 43,47% (52.204 ha). Sisanya dialihkan ke perusahaan non-RSPO yang tidak melakukan identifikasi HCV.

  2. Pengalihan status kawasan HCVF setelah HGU definitif

    • Tiga kemungkinan hasil:
      a) Wilayah HCV dikeluarkan dari konsesi dan dikembalikan ke pemerintah.
      b) Area HCV dikeluarkan dari konsesi karena dianggap tanah komunitas (HCV5 atau HCV6).
      c) Area HCV dimasukkan (enclaved) dalam HGU dan dikelola perusahaan.

    • Banyak perusahaan enggan mempertahankan HCV karena membutuhkan sumber daya besar.

  3. Area HCV tidak aman secara hukum

    • Pengamanan HCV berada pada tim pertimbangan di Kementerian Kehutanan. Keputusan mereka berperan penting dalam pelepasan kawasan hutan.

Kesimpulan:
Terdapat ketidakcocokan antara standar RSPO dengan kerumitan regulasi dan aturan pemerintah Indonesia.

Rekomendasi:

  • Revisi hukum dan regulasi.

  • Perbaikan prosedur di lapangan.

  • Sosialisasi informasi HCV kepada pemerintah lokal.

  • Sinkronisasi peraturan RSPO dengan peraturan nasional, terutama kebijakan perkebunan dan kehutanan.

Paper Summary by: Gloria Pratidhwani Manggalagita

Paper:
Colchester, M., P. Anderson, Jiwan, Norman, Andiko, and S. M. Toh. 2009. HCV and the RSPO: report of an independent investigation into the effectiveness of the application of High Conservation Value zoning in palm oil development in Indonesia. Forest Peoples Programme, HuMA, SawitWatch and Wild Asia, Moreton-in-Marsh, UK.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top